Rabu, 04 Oktober 2017

SURAT UNTUK HELENA RISTA DAHNIAR

Kini kamu merasakan, betapa sakitnya hidup dalam penderitaan. Teriakanmu menggema dan terdengar kemana-mana, berseru seolah saudaramu tiada peduli terhadap penderitaanmu. Aku tau, jeritanmu itu adalah upaya untuk memberitahukan rasa sakit yang kau rasakan kini. Kamu berkeinginan agar dunia meresponmu. Kamu berkeinginan agar saudara dan kerabatmu segera menolongmu. Sampai-sampai pertolongan yang pernah kamu dapatkan menjadi hilang dari ingatanmu, akibat penderitaan yang kini sungguh menekanmu.

Bersabarlah untuk situasimu yang sekarang. Tabahlah untuk kondisimu ini. Aku yakin kamu pasti bisa melalui ini. Aku tau kamu adalah sosok yang begitu kuat, karena selama ini aku tau kamu mampu melewati sebuah peristiwa yang merupakan bentuk dari penderitaan yang lain. Oleh karena itu aku percaya kepadamu. Menangislah untuk tidak menjerit. Jikapun kamu harus menjerit, menjeritlah untuk tidak menyalahkan orang lain.

Bersabarlah dalam pengharapan, dan terus berjalan untuk menggapai masa depan yang masih terbuka begitu lebar. Kamu harus tau, kamu masih bisa bertahan tak lain hanyalah berkat kasih karunia Tuhan. Jangan pernah katakan, kamu kini sedang dicobai Tuhan. Karena Tuhan tak pernah mencobai umatnya, apalagi dengan sebuah penderitaan.

Aku tidak menyesal terhadap apa yang pernah kamu lakukan kepadaku. Aku hanya berusaha mengingatkanmu, bahwa tidak baik menekan orang lain saat ia berada dalam kesulitan. Aku tidak mendendam semua perilaku jahatmu kepadaku, yang kamu perbuat saat aku berada dalam penderitaan. Tetapi aku ingin menyadarkanmu, bahwa segala sesuatunya tidak ada yang abadi. Diatas langit masih ada langit.

Keangkuhan yang kamu persembahkan saat kamu berada pada puncak keberhasilanmu, memang sulit bagiku untuk menghapusnya dari memori ingatanku. Bicaramu yang kamu semburkan seenakmu, mengingatkan aku pada sebuah peribahasa, "memang lidah tak bertulang". Kamu bicara tidak berbatas. Kamu berucap sudah tidak menggunakan etika kesopanan. Kamu tidak lagi memperhatikan siapa lawan bicaramu. Semua itu kamu lakukan, tanpa mempedulikan akibat yang timbul dari ucapanmu itu.

Kini kamu merengek meminta belas kasihan, bicara sumbar seperti mengingatkan aku bahwa kamu pernah menjadi pahlawan terhadap keluarga besarmu. Aku melihat, tidak ada mimik penyesalan di raut wajahmu, saat kamu datang bersilaturahmi ke padaku. Kamu berlaku biasa saja, dan bertindak seperti tidak ada peristiwa tidak baik, yang pernah kamu lakukan terhadapku. Aku bertanya didalam hatiku, "apakah kamu sudah lupa, atau kamu sengaja pura-pura lupa" akupun tidak tau.


SALAM GEMILANG 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar