Kini kamu merasakan, betapa sakitnya hidup
dalam penderitaan. Teriakanmu menggema dan terdengar kemana-mana, berseru
seolah saudaramu tiada peduli terhadap penderitaanmu. Aku tau, jeritanmu itu
adalah upaya untuk memberitahukan rasa sakit yang kau rasakan kini. Kamu
berkeinginan agar dunia meresponmu. Kamu berkeinginan agar saudara dan kerabatmu
segera menolongmu. Sampai-sampai pertolongan yang pernah kamu dapatkan menjadi
hilang dari ingatanmu, akibat penderitaan yang kini sungguh menekanmu.
Bersabarlah untuk situasimu yang sekarang. Tabahlah untuk kondisimu ini. Aku
yakin kamu pasti bisa melalui ini. Aku tau kamu adalah sosok yang begitu kuat,
karena selama ini aku tau kamu mampu melewati sebuah peristiwa yang merupakan
bentuk dari penderitaan yang lain. Oleh karena itu aku percaya kepadamu.
Menangislah untuk tidak menjerit. Jikapun kamu harus menjerit, menjeritlah
untuk tidak menyalahkan orang lain.
Bersabarlah dalam pengharapan, dan terus berjalan untuk menggapai masa depan
yang masih terbuka begitu lebar. Kamu harus tau, kamu masih bisa bertahan tak
lain hanyalah berkat kasih karunia Tuhan. Jangan pernah katakan, kamu kini
sedang dicobai Tuhan. Karena Tuhan tak pernah mencobai umatnya, apalagi dengan
sebuah penderitaan.
Aku tidak menyesal terhadap apa yang pernah kamu lakukan kepadaku. Aku hanya
berusaha mengingatkanmu, bahwa tidak baik menekan orang lain saat ia berada
dalam kesulitan. Aku tidak mendendam semua perilaku jahatmu kepadaku, yang kamu
perbuat saat aku berada dalam penderitaan. Tetapi aku ingin menyadarkanmu,
bahwa segala sesuatunya tidak ada yang abadi. Diatas langit masih ada langit.
Keangkuhan yang kamu persembahkan saat kamu berada pada puncak keberhasilanmu,
memang sulit bagiku untuk menghapusnya dari memori ingatanku. Bicaramu yang
kamu semburkan seenakmu, mengingatkan aku pada sebuah peribahasa, "memang lidah tak bertulang". Kamu
bicara tidak berbatas. Kamu berucap sudah tidak menggunakan etika kesopanan.
Kamu tidak lagi memperhatikan siapa lawan bicaramu. Semua itu kamu lakukan,
tanpa mempedulikan akibat yang timbul dari ucapanmu itu.
Kini kamu merengek meminta belas kasihan, bicara sumbar seperti mengingatkan
aku bahwa kamu pernah menjadi pahlawan terhadap keluarga besarmu. Aku melihat,
tidak ada mimik penyesalan di raut wajahmu, saat kamu datang bersilaturahmi ke
padaku. Kamu berlaku biasa saja, dan bertindak seperti tidak ada peristiwa
tidak baik, yang pernah kamu lakukan terhadapku. Aku bertanya didalam hatiku,
"apakah kamu sudah lupa, atau kamu sengaja pura-pura lupa" akupun
tidak tau.
SALAM GEMILANG