Dari sisi kesetiaan, aku tak pernah
meragukanmu. Tetapi peristiwa itu sempat membuatku menjadi seperti bodoh,
sampai aku berpikiran hendak berbuat dan bertindak gelap mata. Peristiwa itu
menusuk hatiku, sampai membuat pikiranku menjadi tidak menentu. Perasaanku
benar-benar terbakar, walau aku tau bahwa peristiwa itu adalah kejadian tanpa
sengaja.
Ungkapan kasih yang engkau kirim pada
seorang teman perempuanmu lewat akun media sosial, rupanya tanpa
sengaja terkirim kepada seorang pria yang merupakan temanmu saat dulu di
sekolah tingkat pertama. Celakanya, pria itu malah meresponnya dengan baik, dan
siap-siap untuk melanjutkan komunikasi. Sikap inilah yang membuat darahku
akhirnya mendidih terbakar api cemburu.
Entah mengapa, aku mempunyai keyakinan yang
sangat besar kalau pria itu, memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan
komunikasi denganmu, yaitu komunikasi bernuansa asmara. Ada beberapa alasan
yang kuat, sehingga aku berani menaruh dugaan itu menjadi sebuah kepastian.
Aku sadar dan tau betul kalau ucapan
bernuansa asmara itu terkirim ke alamat yang salah. Sekalipun salah alamat,
namun kiriman sudah terlanjur sampai. Sampai disitu aku masih berusaha untuk
mengendalikan diri. Aku masih berusaha untuk memahami situasi, dan peristiwa
yang telah terjadi.
Yang sangat aku sesalkan adalah, pembicaraan
pesan pendek yang berlangsung antara kamu dengan lelaki itu, kuketahui telah
kamu hapus dari layar phone cell-mu, tanpa memberiku kesempatan untuk
membacanya. Itulah hal yang membuat rasa penasaranku, meningkat menjadi
kecurigaan yang mendalam.
Kecurigaanku terus tumbuh lalu berkembang
menjadi pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab, sehingga menjadi benih
yang melahirkan kebencian.Sekalipun penjelasanmu sangat jelas di telingaku,
namun hatiku terlanjur sakit. Berbagai cara engkau tempuh untuk memberitahuku,
bahwa peristiwa itu tidak seperti yang aku duga, tetapi tetap saja rasa
percayaku telah ternoda.
Beberapa hari pasca peristiwa itu, aku
berusaha untuk lebih tenang. Tetapi setiap kali aku berusaha untuk tenang, pada
saat itu juga bayangan peristiwa itu datang menggangguku. Sekalipun aku
memutuskan untuk tidak mempermasalahkan lagi peristiwa itu, namun rasa curigaku
tak mau berhenti, malah semakin meningkat tajam.
Sejak peristiwa itu, rasa percayaku kepadamu
tidak lagi sesempurna dulu. Sekalipun dekat denganku, aku merasa seolah kamu
tidak lagi milikku. Aku merasa kamu telah terbagi menjadi dua, satu bagian
berada di dekatku bagian lainnya berada di tempat lain.
Waktu terus bergerak pergi meninggalkan masa
lalu. Namun hatiku yang sakit belum juga pulih seperti sediakala. Sekalipun
tidak segundah saat itu, tetapi sisa kemarahan masih tetap ada. Rasa dongkol
sebagai dampak dari peristiwa pesan pendek itu, sungguh masih menempel dengan
sangat kuat.
Aku mulai khawatir terhadap diriku sendiri.
Aku berpikir, jika situasi ini berlanjut terus dengan kondisi yang sama, relasi
antara aku dengan kamu akan bertambah buruk. Oleh karena itu, aku memutuskan
untuk melakukan pembicaraan secara langsung dengan lelaki teman alumnimu itu.
Akan jauh lebih baik seperti itu, daripada menyimpan amarah hanya untuk membuat
rugi diri sendiri.
Keinginanku untuk berjumpa dengan lelaki itu
terus tumbuh semakin menguat. Aku berkesimpulan, hanya dengan cara itu aku bisa
menemukan kebenaran dibalik semua peristiwa itu. Aku tak ingin, peristiwa itu
terus berkembang dan melukai hatiku. Aku telah siap dengan segala resiko yang
akan terjadi, jika aku diberi kesempatan berjumpa dengan lelaki itu. Ya ... aku
akan menerima apapun resikonya.
Kesempatan untuk bertemu langsung dengan
lelaki itu akhirnya terbuka. Rencana pernikahan sepupu yang akan digelar di
kampung halaman, menjadi peluang bagiku untuk klarifikasi dan menemukan fakta
dari peristiwa yang telah terjadi. Momen itu menjadi titik harapan untuk
membuat semuanya menjadi jelas.
>>>
Upacara pernikahan sepupu telah usai,
seluruh keluarga sepakat berkumpul dan menginap di rumah ayah mertua. Aku
menunggu penuh harap agar disaat seperti itu lelaki itu muncul di hadapanku.
Namun harapan tinggal harapan, keinginan berjumpa tampaknya tidak akan menjadi
kenyataan. Lelaki itu sama sekali tidak pernah muncul.
Karena keinginan berjumpa yang begitu kuat,
aku memutuskan untuk mengajakmu jalan-jalan ke sebuah tempat, tempat yang
searah dengan kampung darimana lelaki itu berasal. Sekali lagi keinginanku
patah, karena kamu menolak ajakanku secara halus dengan alasan kamu tidak suka
jalan-jalan ke tempat kemana yang aku tuju.
Akhirnya harapan untuk mendapatkan kejelasan
tentang peristiwa pesan pendek yang telah terjadi pada waktu lalu, menemukan
jalan buntu. Waktu yang semakin menipis, memastikan tidak ada lagi kesempatan
untuk berjumpa dengan lelaki itu. Kalaupun ada kesempatan, mungkin akan
menunggu waktu yang sangat lama.
>>>
Usai sudah acara demi acara di kampung
halaman, kita kemudian bertolak menuju Pekanbaru. Perjalanan panjang menuju
Pekanbaru adalah perjalanan yang sangat melelahkan dan akan lebih melelahkan
lagi setelah keinginan untuk mendapat kejelasan tentang peristiwa pesan pendek
itu tidak terwujud.
Rona murung yang tampak di wajahmu selama
perjalanan, membuat hatiku terasa semakin sakit. Aku menduga, kamu tidak jujur
dalam peristiwa ini. Aku berprasangka, ada hal berat yang kamu sembunyikan
berkaitan dengan peristiwa yang telah terjadi.
Aku sedih saat melihatmu bermuram durja. Aku
berusaha menghiburmu, walau aku tau cara yang kulakukan terasa sangat janggal.
Tetapi semua sia-sia. Menyadari situasi yang semakin tidak nyaman, kemudian aku
bicara untuk merespon sikapmu yang terus dengan wajah murung. Namun kamu tetap
saja bermuram durja.
Perasaanku menjadi serba salah, saat kutau
situasi semakin bertambah kusut. Emosiku mulai tak terkendali. Bicarapun aku
mulai asal ngomong. Hingga tanpa kusadari, aku mengucapkan kalimat yang
nadanya, ... “aku merelakanmu pergi kepada siapapun yang kamu suka, kalau
memang hal itu akan membuatmu bahagia.
Mendengar ucapanku itu kau menjadi marah
besar. Kemarahanmu engkau lampiaskan dalam bentuk kata-kata kasar, pertanda
kamu tidak setuju dengan ucapanku itu. Tetapi ada baiknya juga aku berkata seperti
itu. Karena dengan perkataan itu, akhirnya kamu buka suara, dan menjelaskan
sebab musabab mengapa kamu bermurung durja selama dalam perjalanan.
Klarifikasi yang kau lakukan sedikit
membuatku lebih lega, walau sebenarnya beban di hatiku masih terasa sangat
berat. Tidak terwujudnya keinginanku untuk bicara langsung dengan lelaki itu,
membuat rasa curigaku masih terus menekan perasaanku. Jujur, aku belum bisa
menerima peristiwa itu dengan berlapang dada.
Bertolak dari Pematangsiantar kemudian
sampai di Pekanbaru. Tak lama setelah itu, kita melanjutkan perjalanan ke
Bandung dengan menggunakan penerbangan pertama dari Bandar Udara Sultan Syarif
II Pekanbaru. Beban berat yang menekan perasaan kubawa pulang bersamamu ke
rumah kita di Bandung.
Walau senang bisa sampai di rumah dengan
selamat, namun perasaan gundah terus menyelimuti pikiranku. Aku terus berusaha
untuk membuat suasana hatiku menjadi nyaman, dengan berlaku mesra pada setiap
komunikasi dan interaksi kita. Aku harus akui, sejak peristiwa itu rasa
sayangku kepadamu menjadi bertambah berlipat-lipat.
>>>
Berkat usaha dan rasa ingin tahuku yang
sangat tinggi, akhirnya aku menemukan nomor kontak pria itu dari kelompok grup
yang masih muncul dilayar handphone-mu. Aku tidak menyia-nyiakan penemuan itu
dan segera menghubungi pria itu lewat handphone-ku.
Dadaku bergetar sangat kencang saat aku
mendengar tanda, bahwa kontak yang kulakukan tersambung. Degup
jantungku berdenyut lebih keras lagi, saat komunikasiku dengan pria itu
benar-benar tersambung. Lalu aku dan dia terlibat pembicaraan yang sangat
serius, sebagaimana pria dewasa berbicara.
Aku sangat bersyukur, karena setiap detik
pembicaraanku dengannya tak sedikitpun berbau konflik. Pembicaraan itu kemudian
menempatkan aku pada posisi yang sangat diuntungkan, karena setelah pembicaraan
itu, perasaanku benar-benar terasa plong, karena aku menemukan pengakuan
langsung dari pria itu, bahwa peristiwa pesan pendek itu adalah peristiwa
ketidak sengajaan, dan terjadi begitu saja.
Seperti terlepas dari kuatnya sebuah
cengkeraman di leher, begitulah aku terbebas dari segala beban di hati, yang
hampir semua beban itu berupa pikiran curiga. Beban berupa pertanyaan yang
menjejali pikiranku, kemudian semua terjawab setelah aku melakukan pembicaraan
langsung dengan pria itu.
Aku seperti menemukan diriku kembali, setelah
beberapa waktu hati dan pikiranku melayang meninggalkan aku, lantaran pergi ke
segala penjuru untuk mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang menjejali
pikiranku.
Sembari meminta maaf, lelaki itu menjawab
semua pertanyaanku dengan tulus. Sekalipun tidak disengaja, lelaki itu
menyadari bahwa ia memiliki andil, sehingga peristiwa itu terjadi dan membuat
situasi menjadi tak terkendali.
Sebagai seorang pria yang memiliki pemikiran
bijak, yang mengutamakan kedamaian daripada kekisruhan, tentu aku menerima
seluruh permintaan maafnya. Walau aku tau lelaki itu sebenarnya telah
memanfaatkan situasi, tetapi sikap “gentle” yang ditunjukkan pria itu, patut
juga untuk dihargai.
Pasca percakapan by phone dengan lelaki itu,
pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan dadaku semua terjawab. Secara perlahan
kecurigaanku hilang dan kepercayaanku kepadamu kembali menguat. Itulah akhir
dari kegundahanku dan juga akhir dari kecurigaanku.
Tetapi aku juga harus mengakui, dibalik
derita hati yang sempat kualami pasca peristiwa pesan pendek itu, ada hal
positif yang lahir setelah itu. Rasa sayangku kepadamu yang selama ini begitu
kuat, setelah peristiwa itu terasa semakin bertambah kuat dan bertambah
berlipat-lipat.
Terimakasih telah memahami aku dan mengerti
aku disepanjang hidupku ini. Secara khusus aku berterimakasih kepadamu, karena
kamu juga mau mengerti caraku, dalam menanggapi peristiwa pesan pendek, yang
sempat mengganggu harmonisasi relasi kita sebagai pasangan suami istri.
Aku semakin cinta kepadamu ... SALAM GEMILANG.
.