Selasa, 11 September 2018

SEPEKAN YANG MENYAKITKAN

Dari sisi kesetiaan, aku tak pernah meragukanmu. Tetapi peristiwa itu sempat membuatku menjadi seperti bodoh, sampai aku berpikiran hendak berbuat dan bertindak gelap mata. Peristiwa itu menusuk hatiku, sampai membuat pikiranku menjadi tidak menentu. Perasaanku benar-benar terbakar, walau aku tau bahwa peristiwa itu adalah kejadian tanpa sengaja.

Ungkapan kasih yang engkau kirim pada seorang teman perempuanmu lewat akun media sosial, rupanya tanpa sengaja terkirim kepada seorang pria yang merupakan temanmu saat dulu di sekolah tingkat pertama. Celakanya, pria itu malah meresponnya dengan baik, dan siap-siap untuk melanjutkan komunikasi. Sikap inilah yang membuat darahku akhirnya mendidih terbakar api cemburu.

Entah mengapa, aku mempunyai keyakinan yang sangat besar kalau pria itu, memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan komunikasi denganmu, yaitu komunikasi bernuansa asmara. Ada beberapa alasan yang kuat, sehingga aku berani menaruh dugaan itu menjadi sebuah kepastian.

Aku sadar dan tau betul kalau ucapan bernuansa asmara itu terkirim ke alamat yang salah. Sekalipun salah alamat, namun kiriman sudah terlanjur sampai. Sampai disitu aku masih berusaha untuk mengendalikan diri. Aku masih berusaha untuk memahami situasi, dan peristiwa yang telah terjadi.

Yang sangat aku sesalkan adalah, pembicaraan pesan pendek yang berlangsung antara kamu dengan lelaki itu, kuketahui telah kamu hapus dari layar phone cell-mu, tanpa memberiku kesempatan untuk membacanya. Itulah hal yang membuat rasa penasaranku, meningkat menjadi kecurigaan yang mendalam.

Kecurigaanku terus tumbuh lalu berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab, sehingga menjadi benih yang melahirkan kebencian.Sekalipun penjelasanmu sangat jelas di telingaku, namun hatiku terlanjur sakit. Berbagai cara engkau tempuh untuk memberitahuku, bahwa peristiwa itu tidak seperti yang aku duga, tetapi tetap saja rasa percayaku telah ternoda.

Beberapa hari pasca peristiwa itu, aku berusaha untuk lebih tenang. Tetapi setiap kali aku berusaha untuk tenang, pada saat itu juga bayangan peristiwa itu datang menggangguku. Sekalipun aku memutuskan untuk tidak mempermasalahkan lagi peristiwa itu, namun rasa curigaku tak mau berhenti, malah semakin meningkat tajam.

Sejak peristiwa itu, rasa percayaku kepadamu tidak lagi sesempurna dulu. Sekalipun dekat denganku, aku merasa seolah kamu tidak lagi milikku. Aku merasa kamu telah terbagi menjadi dua, satu bagian berada di dekatku bagian lainnya berada di tempat lain.

Waktu terus bergerak pergi meninggalkan masa lalu. Namun hatiku yang sakit belum juga pulih seperti sediakala. Sekalipun tidak segundah saat itu, tetapi sisa kemarahan masih tetap ada. Rasa dongkol sebagai dampak dari peristiwa pesan pendek itu, sungguh masih menempel dengan sangat kuat.

Aku mulai khawatir terhadap diriku sendiri. Aku berpikir, jika situasi ini berlanjut terus dengan kondisi yang sama, relasi antara aku dengan kamu akan bertambah buruk. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk melakukan pembicaraan secara langsung dengan lelaki teman alumnimu itu. Akan jauh lebih baik seperti itu, daripada menyimpan amarah hanya untuk membuat rugi diri sendiri.

Keinginanku untuk berjumpa dengan lelaki itu terus tumbuh semakin menguat. Aku berkesimpulan, hanya dengan cara itu aku bisa menemukan kebenaran dibalik semua peristiwa itu. Aku tak ingin, peristiwa itu terus berkembang dan melukai hatiku. Aku telah siap dengan segala resiko yang akan terjadi, jika aku diberi kesempatan berjumpa dengan lelaki itu. Ya ... aku akan menerima apapun resikonya.

Kesempatan untuk bertemu langsung dengan lelaki itu akhirnya terbuka. Rencana pernikahan sepupu yang akan digelar di kampung halaman, menjadi peluang bagiku untuk klarifikasi dan menemukan fakta dari peristiwa yang telah terjadi. Momen itu menjadi titik harapan untuk membuat semuanya menjadi jelas.

>>> 

Upacara pernikahan sepupu telah usai, seluruh keluarga sepakat berkumpul dan menginap di rumah ayah mertua. Aku menunggu penuh harap agar disaat seperti itu lelaki itu muncul di hadapanku. Namun harapan tinggal harapan, keinginan berjumpa tampaknya tidak akan menjadi kenyataan. Lelaki itu sama sekali tidak pernah muncul.

Karena keinginan berjumpa yang begitu kuat, aku memutuskan untuk mengajakmu jalan-jalan ke sebuah tempat, tempat yang searah dengan kampung darimana lelaki itu berasal. Sekali lagi keinginanku patah, karena kamu menolak ajakanku secara halus dengan alasan kamu tidak suka jalan-jalan ke tempat kemana yang aku tuju.

Akhirnya harapan untuk mendapatkan kejelasan tentang peristiwa pesan pendek yang telah terjadi pada waktu lalu, menemukan jalan buntu. Waktu yang semakin menipis, memastikan tidak ada lagi kesempatan untuk berjumpa dengan lelaki itu. Kalaupun ada kesempatan, mungkin akan menunggu waktu yang sangat lama.

>>> 

Usai sudah acara demi acara di kampung halaman, kita kemudian bertolak menuju Pekanbaru. Perjalanan panjang menuju Pekanbaru adalah perjalanan yang sangat melelahkan dan akan lebih melelahkan lagi setelah keinginan untuk mendapat kejelasan tentang peristiwa pesan pendek itu tidak terwujud.

Rona murung yang tampak di wajahmu selama perjalanan, membuat hatiku terasa semakin sakit. Aku menduga, kamu tidak jujur dalam peristiwa ini. Aku berprasangka, ada hal berat yang kamu sembunyikan berkaitan dengan peristiwa yang telah terjadi.

Aku sedih saat melihatmu bermuram durja. Aku berusaha menghiburmu, walau aku tau cara yang kulakukan terasa sangat janggal. Tetapi semua sia-sia. Menyadari situasi yang semakin tidak nyaman, kemudian aku bicara untuk merespon sikapmu yang terus dengan wajah murung. Namun kamu tetap saja bermuram durja.

Perasaanku menjadi serba salah, saat kutau situasi semakin bertambah kusut. Emosiku mulai tak terkendali. Bicarapun aku mulai asal ngomong. Hingga tanpa kusadari, aku mengucapkan kalimat yang nadanya, ... “aku merelakanmu pergi kepada siapapun yang kamu suka, kalau memang hal itu akan membuatmu bahagia.

Mendengar ucapanku itu kau menjadi marah besar. Kemarahanmu engkau lampiaskan dalam bentuk kata-kata kasar, pertanda kamu tidak setuju dengan ucapanku itu. Tetapi ada baiknya juga aku berkata seperti itu. Karena dengan perkataan itu, akhirnya kamu buka suara, dan menjelaskan sebab musabab mengapa kamu bermurung durja selama dalam perjalanan.

Klarifikasi yang kau lakukan sedikit membuatku lebih lega, walau sebenarnya beban di hatiku masih terasa sangat berat. Tidak terwujudnya keinginanku untuk bicara langsung dengan lelaki itu, membuat rasa curigaku masih terus menekan perasaanku. Jujur, aku belum bisa menerima peristiwa itu dengan berlapang dada.

Bertolak dari Pematangsiantar kemudian sampai di Pekanbaru. Tak lama setelah itu, kita melanjutkan perjalanan ke Bandung dengan menggunakan penerbangan pertama dari Bandar Udara Sultan Syarif II Pekanbaru. Beban berat yang menekan perasaan kubawa pulang bersamamu ke rumah kita di Bandung.

Walau senang bisa sampai di rumah dengan selamat, namun perasaan gundah terus menyelimuti pikiranku. Aku terus berusaha untuk membuat suasana hatiku menjadi nyaman, dengan berlaku mesra pada setiap komunikasi dan interaksi kita. Aku harus akui, sejak peristiwa itu rasa sayangku kepadamu menjadi bertambah berlipat-lipat.

>>> 

Berkat usaha dan rasa ingin tahuku yang sangat tinggi, akhirnya aku menemukan nomor kontak pria itu dari kelompok grup yang masih muncul dilayar handphone-mu. Aku tidak menyia-nyiakan penemuan itu dan segera menghubungi pria itu lewat handphone-ku.

Dadaku bergetar sangat kencang saat aku mendengar tanda, bahwa kontak yang kulakukan tersambung.  Degup jantungku berdenyut lebih keras lagi, saat komunikasiku dengan pria itu benar-benar tersambung. Lalu aku dan dia terlibat pembicaraan yang sangat serius, sebagaimana pria dewasa berbicara.

Aku sangat bersyukur, karena setiap detik pembicaraanku dengannya tak sedikitpun berbau konflik. Pembicaraan itu kemudian menempatkan aku pada posisi yang sangat diuntungkan, karena setelah pembicaraan itu, perasaanku benar-benar terasa plong, karena aku menemukan pengakuan langsung dari pria itu, bahwa peristiwa pesan pendek itu adalah peristiwa ketidak sengajaan, dan terjadi begitu saja.

Seperti terlepas dari kuatnya sebuah cengkeraman di leher, begitulah aku terbebas dari segala beban di hati, yang hampir semua beban itu berupa pikiran curiga. Beban berupa pertanyaan yang menjejali pikiranku, kemudian semua terjawab setelah aku melakukan pembicaraan langsung dengan pria itu.

Aku seperti menemukan diriku kembali, setelah beberapa waktu hati dan pikiranku melayang meninggalkan aku, lantaran pergi ke segala penjuru untuk mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang menjejali pikiranku.

Sembari meminta maaf, lelaki itu menjawab semua pertanyaanku dengan tulus. Sekalipun tidak disengaja, lelaki itu menyadari bahwa ia memiliki andil, sehingga peristiwa itu terjadi dan membuat situasi menjadi tak terkendali.

Sebagai seorang pria yang memiliki pemikiran bijak, yang mengutamakan kedamaian daripada kekisruhan, tentu aku menerima seluruh permintaan maafnya. Walau aku tau lelaki itu sebenarnya telah memanfaatkan situasi, tetapi sikap “gentle” yang ditunjukkan pria itu, patut juga untuk dihargai.

Pasca percakapan by phone dengan lelaki itu, pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan dadaku semua terjawab. Secara perlahan kecurigaanku hilang dan kepercayaanku kepadamu kembali menguat. Itulah akhir dari kegundahanku dan juga akhir dari kecurigaanku.

Tetapi aku juga harus mengakui, dibalik derita hati yang sempat kualami pasca peristiwa pesan pendek itu, ada hal positif yang lahir setelah itu. Rasa sayangku kepadamu yang selama ini begitu kuat, setelah peristiwa itu terasa semakin bertambah kuat dan bertambah berlipat-lipat.

Terimakasih telah memahami aku dan mengerti aku disepanjang hidupku ini. Secara khusus aku berterimakasih kepadamu, karena kamu juga mau mengerti caraku, dalam menanggapi peristiwa pesan pendek, yang sempat mengganggu harmonisasi relasi kita sebagai pasangan suami istri.


Aku semakin cinta kepadamu ... SALAM GEMILANG.
.