Selasa, 26 September 2017

SURAT UNTUK FAUSTINA RADIBALA


Lihatlah dirimu, yang tak mau mengakui. Sadar ataupun tidak, kamu telah menghakimi. Entah apa yang membuat dirimu seperti kalap, sehingga tak memberiku kesempatan untuk bicara. Entah siapa yang membuatmu seperti kesurupan, sehingga tampak dirimu hendak melahapku bulat-bulat. Aku tidak mengerti dan semakin tidak mengerti dengan sikapmu tambah hari.

Kamu menyayangkan sebuah keputusan yang oleh pimpinan tertinggi telah ditetapkan menjadi kebijakan perkumpulan. Boleh-boleh saja kamu menyesalkan itu, tetapi terlambat untuk dipersoalkan sekarang. Yang perlu dilakukan adalah mentaati keputusan, lalu mewujudkan keputusan itu dalam bentuk karya nyata.

Aku sangat menyayangkan tindakanmu yang menghujani aku dengan berbagai perkataan, seolah aku mempunyai andil besar sehingga keputusan itu terjadi. Kamu mencecar aku dengan berbagai ucapan, seolah aku memiliki kekuatan dan berkemampuan merubah sebuah keputusan. Aku katakan kepadamu, keputusan yang sudah menjadi ketetapan rasanya hampir tidak mungkin untuk dirubah lagi. Seharusnya kamu tau, atau kamu pura-pura tidak tau sikap pimpinan kita ?.

Kau berucap kata, seolah aku telah berbuat salah. Perkataan orang lain yang kau anggap merendahkan perkumpulan kita, kau sebut telah membuat dirimu malu, lalu kau tumpahkan semua kekecewaan itu dalam bentuk amarah kepadaku,
 seolah semua itu terjadi karena aku. Sebagai bagian dari tim, seharusnya kamu mendukung keputusan perkumpulan kita, dan berusaha dengan cara apapun, untuk membuat orang lain maklum dan menghargai keputusan perkumpulan kita.

Dimana kemampuan menyadari yang seharusnya ada dalam dirimu. Kamu seharusnya paham, kalau perbedaan pada sebuah perkumpulan pasti ada. Jika keputusan tidak sesuai dengan harapanmu, sebaiknya kamu legowo dengan keputusan yang ditetapkan oleh pimpinan dan telah menjadi kebijakan. Kamu tau jika aku bukan pimpinan tertinggi, maka salah jika sasaran kemarahanmu kamu alamatkan kepadaku. Seharusnya kamu menumpahkan seluruh rasa kesalmu kepada pimpinan tertinggi, bukan kepadaku. Kemarahanmu memang beralasan, tetapi tidak tepat sasaran.

Rupanya, pengalaman pelayanan yang melimpah pada dirimu tidak cukup membuatmu untuk mengerti. Jabatan pelayanan yang melimpah pada dirimu rupanya juga tidak cukup membuatmu paham arti dari sebuah kebijakan. Pemahamanmu tentang kebijakan sebuah tim ternyata sangat dangkal. Seharusnya kamu lebih mendahulukan kepentingan bersama sebagai tim, daripada kepentingan kelompok lain yang kamu sebut telah mempermalukan dirimu, atas kebijakan perkumpulan.

Supaya kamu tau. Sebagai personality, akupun tidak setuju dengan kebijakan itu. Tetapi aku sadar, bahwa itu adalah keputusan bersama karena sudah diputuskan oleh pimpinan kita. Mau tidak mau, untuk kebersamaan aku harus menurut dan bekerja berdasarkan kebijakan itu. Sekalipun berat dan harus menanggung malu, aku harus tetap berjalan karena itu sudah menjadi bagian dari karya pelayananku. 

Aku tau jika kamupun merasa tertekan jika banyak orang mempertanyakan soal keputusan yang telah menjadi kebijakan perkumpulan kita. Lalu mengapa hal yang dilakukan orang lain kepadamu kau lakukan juga kepadaku, walau kamu tau jika hal itu sangat menyakitkan. Jika demikikan, apa bedanya kamu dengan orang itu ?

Seharusnya kamu tidak lagi mempersoalkan sebuah keputusan setelah pertemuan selesai. Pertemuan pengambilan keputusan telah berlalu, yang harus dilakukan sekarang adalah berkarya. Terasa sangat lucu, jika sosok sekaliber kamu masih juga mempersoalkan keputusan yang sudah ditetapkan menjadi kebijakan. Tidak adalagi pertentangan.

Untuk Faustina Radibala ... SALAM GEMILANG